Contoh menginterpretasi sebuah puisi:
“STASI KELIMA”
Di sini anak-anak bangsa diuji
Mau jadi pedagang, tukang pukul atau pegawai asuransi
Di sini anak-anak rakyat jelata ditempa
Untuk menantang nasib, menggarap hidupnya Jakarta
Bersama ribuan sopir, pengecer tekstil
Pedagang buah, pencatut karcis dan makelar mobil
Kuberi Chris perasaan sukses
Seperti seorang direktur pemasaran
Insinyur pertanian dan opsir-opsir di lapangan
Kubuat ia tersenyum di pasar, di pentas lumba-lumba
Di kerumunan Lenong dan Topeng Betawi
Bersama para badut yang bersuara lembek
Yang mengemis perhatian ekstra
Sebagai bekas jongos dan pembahasanu
Lalu bicara tentang masa depan bangsa
Memadukan harapan dan mimpi sederhana
Dengan jiwa merantau Minangkabau
Keberanian Bugis, kelugasan Batak
Kearifan Jawa. Keluwesan Bali
Ketegaran Aceh dan keanggunan Menado
Maka jadilah Chris, jadilah Jakarta
Jadilah Chris Jakarta
(Karya: Eka Budianta)
Sajak Christoper Eka Budianta itu melukiskan tokoh aku
(Tuhan) Yang Mahamurah (Kuberi Chris perasaan sukses) dan Mahakuasa (Kubuat ia
tersenyum....) yang berkisah tentang perjuangan seorang urban (tokoh Chris)
menghadapi kehidupan Jakarta yang amat keras.
Bagi urban, rakyat jelata yang papa, seperti Chris,
supir, pedagang buah, pencatut, Jakarta yang keras lebih banyak mendatangkan
tekanan bathin daripada kesenangan. Untunglah, Tuhan selalu dekat dan kasih
dengan orang papa.
Tuhan menghibur orang papa itu dengan memberi harapan dan
mimpi. Artinya, Tuhan hanya memberi perasaan sukses, bukan sukses itu sendiri. Mimpi
si papa itu memang luar biasa. Ia bermimpi bagai seorang eksekutif (direktur
pemasaran) yang sukses dan manajer operasional (insinyur pertanian atau opsir)
yang jagoan.
Lebih hebat lagi, si papa itu bermimpi mampu mengatur dan
menentukan masa depan bangsa, mampu memadukan puncak-puncak nilai atau watak
kelompok etnik seperti kearifan Jawa dan keberanian Bugis. Akhir kisah, jadilah
Chris , si papa itu, Chris Jakarta, Chris pemimpi, si papa pemimpi.
Sajak Budianta di atas adalah sebuah ironi. Sajak ini
menyampaikan pesan dengan cara kebalikan, dengan sindiran kelabu. Dalam
realitas, kaum papa ini memang pemimpi berat. Coba saja kita amati, orang yang
rajin ber-togel-ria adalah orang-orang dari lapisan bawah.
Orang-orang ini umumnya memiliki banyak waktu luang,
tetapi mereka tidak cukup memiliki kreativitas dan keterampilan untuk memanfaatkan
waktu luang itu. Tentu cara yang paling gampang untuk memanfaatkan waktu luang
itu adalah bermimpi menjadi jutawan lewat togel (pasang togel).
Pesan yang ditawarkan sajak itu jelas, yaitu janganlah
menjadi pemimpi. Hadapilah kehidupan Kota Jakarta yang keras ini dengan sikap
yang lebih pragmatis, seperti sikap pedagang. Syukur-syukur kalau sikap
pragmatis ini masih dapat dihiasi dengan bunga idealisme.
Pesan inilah salah satu jawaban atas teka-teki sajak
Stasi Kelima karya Eka Budianta itu. Stasi Kelima, yang artinya penghentian
kelima, adalah ajakan kepada kita untuk berhenti sejenak dalam perjalanan hidup
untuk merenung, menilai, dan mencari makna kehidupan secara mendalam. Renungan
atau refleksi ini dapat membebaskan kita dari kehidupan yang rutin dan dangkal.
Tanggapan terhadap puisi di atas:
Sajak ini memang membuat orang yang membacanya penasaran
terhadap maksud dari ungkapan-ungkapan penyair. Namun, dari segi diksi, bahasa
penyair terlalu lugas dan penggunaan kalimatnya cukup lengkap sehingga puisi
ini terkesan sebuah cerita atau prosa jika saja tipografi atau susunannya
berbentuk paragraf.
Jika agak alegoris sedikit mungkin lebih indah untuk
dibacakan dan didengarkan. Namun sekali lagi dalam membuat puisi semua pilihan
berada pada sang penyair. Tidak ada aturan yang mengikat pada puisi modern.
Jadi, apa pun bentuk dan cara pengungkapannya, semua
sah-sah saja asal tetap mengandung banyak makna yang dapat diinterpretasikan
oleh siapa saja.
Belum ada tanggapan untuk "Contoh Menginterpretasi Sebuah Puisi dan Memberi Tanggapan Terhadap Puisi"
Post a Comment