Gaya bahasa adalah bagaimana pengarang menguraikan
ceritanya. Ada yang menggunakan bahasa yang lugas, ada yang bercerita dengan
bahasa pergaulan atau bahasa sehari-hari. Ada juga yang bercerita dengan gaya
satire atau sindiran halus, menggunakan simbol-simbol, dan sebagainya.
Penggunaan bahasa ini sangat membantu menimbulkan daya
tarik dan penciptaan suasana yang tepat bagi pengembangan tema serta alur
cerita. Setiap pengarang besar biasanya sudah memiliki ciri khas penggunaan
bahasa dalam ceritanya.
Contoh Cerpen populer (perhatikan gaya
bahasanya):
“SITI”
Tadi pagi aku ngamuk. Rasanya ini amukanku yang
terdahsyat sepanjang sejarah. Keseeel ..... banget. Sumbernya, yah, siapa lagi
kalau bukan si Siti. Itu pembantu baru yang kelakuannya suka bikin takjub orang
serumah.
Bayangkan saja, masak dra.. paper kewiraan yang sudah
setengah mati kubuat, seenaknya saja dia lempar ke tempat sampah.
Dia tidak tahu berapa besarnya pengorbananku untuk
membuat paper itu. Tiga malam nyaris tidak tidur. Bahkan Hunter, pujaan hatiku
yang setiap Minggu malam selalu kunantikan kehadirannya, kali ini terpaksa aku
cuekin.
Eh ..... tahu-tahu hasil
kerja kerasku itu dilempar ke tempat sampah. Gimana aku tidak kesal setengah
mati. Dasar bego si Siti itu.
Aku ‘kan sudah wanti-wanti ribuan kali agar dia jangan
sekali-kali menyentuh kertas-kertasku. Biar kamarku berantakan kayak kapal
pecah juga, nggak apa, asal kertas-kertas berhargaku aman. Siti, Siti, kamu
kira gampang bikin paper, segampang bikin sambal terasi?
Si Siti ini memang lain. Umurnya baru sekitar delapan
belas tahun, sedang centil-centil-nya. Kerjanya sih cukup lumayan. Dia juga
cukup rajin. Cuma yang namanya centil ..... aujubilah, deh.
Setiap pagi kalau ayah ibuku
sudah berangkat kerja, dia selalu menyetel dangdut di ruang tamu, keraaaaas
..... banget.
Mau tuli rasanya kuping mendengarkan lagu-lagu supernorak
itu. Kepala pun jadi pusing. Paling malu kalau ada teman yang telepon. Pasti
yang nelpon langsung komentar, “Eh, ketahuan, ya, kamu suka lagu gituan. Ngaku
aja deh.”
Belum lagi kalau teman-teman datang. Dia mulai bertingkah
kayak cacing kepanasan, sibuk cari perhatian. Apalagi kalau yang datang itu
cowok, wah, langsung resek, deh, dia, ketawa-ketawa centil dengan suara
cempreng-nya.
Ingin rasanya aku bentak dia. Sayang Ibu selalu melarang,
“Sabar, Rit,” kata Ibu berulang-ulang.
Penyakit si Siti bukan cuma centil saja. Dia juga
superbego. Disuruh ini, dia kerjakan yang lain.
Pernah ketika Ibu mau pergi ke pesta, si Siti disuruh
menyetrika gaun yang akan dipakai. Tahu apa yang dilakukannya? Itu baju malahan
dicuci! Sinting nggak tuh? Pernah dia kusuruh membeli Sunsilk, eh,
pulang-pulang dia membawa semangkuk mie pangsit!
Selama hampir empat bulan dia bekerja, entah sudah berapa
kali dia memperlihatkan kebegoannya. Bukan sekali dua kali aku dibuatnya
senewen. Tapi yang dilakukannya tadi pagi betul-betul sudah keterlaluan dan aku
tidak tahan lagi untuk tidak memakinya.
Semua kejengkelanku harus kutumpahkan, kalau tidak, bisa
aku yang gila. Ya, tadi pagi Siti kubentak-bentak sepuas hati. Semua koleksi
kata-kata kasarku kukeluarkan. Seisi kebun binatang Afrika kusebut satu per
satu.
Si Siti menunduk. Entah dia menyesali perbuatannya, entah
mengumpat di dalam hati, aku tidak peduli. Tidak sedikit pun tersirat rasa
kasihan di hatiku. Yang ada saat itu hanya kemarahan yang meluap-luap.
Dar.. Kewiraan yang sudah lecak kupungut dari tong sampah
dan kuseterika. Dengan susah payah aku berusaha mengenali kembali huruf-huruf
yang ada di situ, dan aku salin lagi ke kertas baru.
.......................
Ting-tong. Wah siapa yang siang-siang begini bertamu,
pikirku. Ketika pintu kubuka, Evi, Uci, Tini, dan Ani cengar-cengir di
hadapanku. Tanpa dipersilahkan, mereka langsung nyelonong masuk ke ruang tamu.
Keempat kuya ini memang sobat-sobatku, dan tidak malu-malu lagi.
“Aduh ....., panas betul, Rit. Minta minum, dong, yang
pake es, ya?
Siropnya cherry kalau ada,” kata si Ani. Buset, kebiasaan
jelek si Ani belum hilang juga. Selalu minta suguhan begitu masuk rumah.
Biasanya aku tinggal suruh si Siti saja, tapi kali ini aku sendiri yang
terpaksa membuat minuman.
“Koq sepi, sih, Rit?” Evi bertanya.
“Pada lagi liburan, di Bandung. Gue nggak ikut karena
ngebela-belain bikin paper Kewariaan, ndak tahunya pas dar..-nya jadi, eh,
dibuang si Siti ke tempat sampah. Sial banget, deh.”
“Ya, ampun! Sinting banget, sih, pembokat elo! Gile, kalo
gue jadi elo, sih, nggak tau, deh, gue bakalan mencak-mencak kayak apa,” kata
Uci.
“Uh ....., tadi pagi juga gue udah ngamuk berat. Terus,
tahu nggak gimana reaksi si Siti? Ha, pasti elo nggak nyangka, deh. Sekarang
dia lagi ‘pesiar’ dalam rangka melancarkan aksi ngambek-nya,” kataku kesal.
“Lho, jadi dia sekarang nggak ada di rumah?” Aku mengiyakan.
“Ck ..... ck ..... ck ..... Hebat banget pembantu elo!
Bener-bener sinting tulen. Udah, pecat aja, deh, pake susah-susah segala,” kata
Ani bersemangat.
“Memang gue udah mikir begitu. Pokoknya, begitu nyokap
bokap gue pulang, langsung gue laporin, deh, si Siti. Biar tahu rasa kalau
dipecat,” kataku. “Eh, jangan langsung dipecat dulu,” kata Tini memberi saran.
“Emang kenapa ?” tanyaku heran.
“Elo kira gampang cari pembantu sekarang? Maksud gue yang
orang baik, gitu. Jangan-jangan elo bakalan dapat yang lebih brengsek. Bisa
runyam, ‘kan?” Tini ber-celoteh panjang-lebar.
“Iya juga, sih. Hati-hati, lho, pembantu sekarang banyak
yang nggak jujur. Tetangga gue aja barusan kemalingan. Malingnya nggak
jauh-jauh, pembantu sendiri, yang habis nyopet langsung kabur,” tambah Evi.
“Soal pembantu suka nyolong, sih, nggak jauh-jauh. Itu si
Sum pembantu di rumahku yang tampangnya ndeso banget dan tak pernah bertingkah
macam-macam, taunya dia itu tangannya panjang. Di rumah gue nggak boleh narok
apa-apa sembarangan. Bisa langsung lenyap tanpa bekas!” cerita Uci.
“Kenapa nggak dipecat saja ?” tanyaku.
“Susah, Rit, nyari pembantu sekarang. Nyokap gue lagi
nyari, tapi belum ketemu. Kita nggak mau ngambil pembantu dari penyalur,
soalnya banyak yang mengeluh tentang pembantu yang diambil dari sana.
Jadi, sementara ini si Sum tetap saja dipakai. Paling-paling
sekarang kita yang harus ekstrahati-hati. Lagi pula
dia ‘kan nggak bakalan berani ngambil yang gede-gede,” kata Uci lagi.
“Ngomong-ngomong, kita pulang yuk,” kata Ani. “Tadi kita
kesini ‘kan cuma mau minta minum gratis, habis jalan-jalan dari Blok M.”
Teman-temanku pulang. Aku sendiri lagi. Gelas-gelas kotor kubawa ke dapur.
Buset, makin banyak saja yang kotor. Kucuci semua, kususun di rak piring.
Lalu aku ingat air minum sudah habis, dan aku juga harus
masak nasi untuk makan malam. Selesai melakukan kedua hal itu, aku teringat
lagi bahwa tanaman di taman belum disiram, dan ikan-ikan di kolam belum diberi
makan. Wah capek juga rasanya.
Aku jadi ingat, si Siti pasti tiap hari capek sekali
melayani seluruh kebutuhan keluarga kami. Mulai dari subuh sampai malam. Salah
sedikit nggak apa-apalah. Toch dia juga baru sekitar empat bulan bekerja, jadi
belum terlalu berpengalaman.
Aduh, tiba-tiba aku jadi kasihan sama si Siti. Pasti dia
sakit hati kubentak-bentak dengan kata-kata kasar tadi pagi. Memang, sih, dia
salah. Tapi mestinya aku ‘kan bisa menggunakan kata-kata yang lebih ‘beradab’
untuk memperingatkannya.
Hari semakin malam. Siti ....., ke mana, sih, kamu?
Pulang, dong!
(Dikutip dari tulisan Maria Margareta Manuwembun dalam
buku Menulis Secara Populer, Ismail Marahimin)
Belum ada tanggapan untuk "Pengertian Gaya Bahasa Beserta Contohnya"
Post a Comment